“Sabtu pengen naik Andong. Mau ikut?”
“Lha anak-anak?”
“Ya diajak kalau mau. Kalau nggak ya bene di rumah”
Obrolan saya dan Pak Suami, long week end kemarin. Meskipun jadinya berangkat hari Minggu (15/9/2024) dan sesuai prediksi awal –anak-anak nggak mau ikut, tapi lumayan lah…ibuk-ibuk dua anak macam saya akhirnya punya cerita seru; berhasil menaklukan puncak Andong.
Iya, gunung beneran. Pernah sih sebelumnya naik Gunung Cilik Wonosobo, tapi itu lebih ke bukit sebenarnya, bukan gunung.
Perjalanan kali ini, 100% yang ngurusin Pak Suami. Mulai dari rute, pemilihan basecamp, mau naik apa dari Jogja-Magelang, intinya saya tinggal mbonceng ๐. Berani ngikut juga karena setau saya Gunung Andong ini termasuk gunung yang masih ramah untuk pemula.. kalau gunung ber track terjal dan panjang…mboten mawon, mending pamit. Sudah sadar diri, sadar usia, sadar kemampuan๐
Tentang Gunung Andong
Andong, merupakan nama salah satu gunung yang berada di Jawa Tengah dan berada di wilayah Desa Ngablak, Kecamatan Ngablak, Magelang. Secara posisi Gunung Andong bersebelahan dengan Gunung Telomoyo, dengan puncak tertinggi berada di ketinggian 1726 mdpl.
Meskipun statusnya secara vulkanologi masih aktif, tapi beberapa sumber menyatakan bahwa hingga saat ini Gunung Andong belum pernah sekalipun meletus.
Tracking di Gunung Andong kerap dijadikan pilihan bagi pendaki pemula atau bahkan yang nol pengalaman, karena jalur yang tidak begitu terjal, dan jarak tempuh yang relatif pendek. Rata-rata waktu tempuh untuk mencapai puncak Gunung Andong adalah 2 jam, sedikit lebih panjang dari Puncak Sikunir yang bahkan bisa dijangkau kurang dari 1 jam berjalan kaki.
Untuk bisa mencapai puncak Gunung Andong, setidaknya ada 3 basecamp yang bisa dipilih yaitu Dusun Sawit, Dusun Pendem, dan Dusun Gugik. Tempo hari, kami memutuskan menaiki Gunung Andong Via Sawit. Katanya, ini jalur yang paling bersahabat dan paling ramah untuk level pemula.
Naik Gunung Andong Via Sawit
Sebelum memulai pendakian, pengunjung diwajibkan melakukan registrasi di loket ini. |
Dari Jogja, sebenarnya saya dan Pak Suami sudah berusaha sepagi mungkin. Tapi ya begitulah, memastikan semua pekerjaan rumah beres, dan baru bisa keluar rumah menjelang pukul 07.00 pagi. Kurang lebih satu setengah jam perjalanan, barulah sampai ke basecamp Sawit.
Basecamp Sawit hari itu sangat ramai. Parkiran hampir penuh. Banyak pendaki yang sudah turun gunung, tapi banyak juga yang masih mengantri di loket registrasi, alias baru mau naik seperti kami.
Dari segi umur, bisa dikatakan pendaki Gunung Andong ini beragam. Mayoritas remaja usia belasan, usia 20, atau 30an tahun. Segmen keluarga yang membawa bocil pun ada. Ada yang digendong, atau yang umur-umur SD jalan sendiri. Golongan usia matang seperti kami juga banyak.
Menilik perlengkapan yang dipake, style pendaki profesional (dengan peralatan mendaki lengkap) banyak, yang terlihat style nyantai, bawa backpack kecil, dan minim peralatan pun tak kalah banyak.
“Tadi sebelum subuh antri nya panjang banget mba… sampai masjid itu… ribuan yang ke sini hari ini," kata seorang penjaga.
Setelah memastikan kendaraan terparkir dengan baik, yang kami lakukan adalah ikut antri di bagian registrasi. Pak suami membayar 48.000 rupiah untuk dua tiket pendakian, iuran sampah dan parkir, sementara saya menuliskan nama, kota asal, no hp, tanggal naik dan tanggal kepulangan pada sebuah buku.
Registrasi beres. Urusan berikutnya, nyari toilet..kebelet pipis๐
Ada beberapa fasilitas toilet umum yang letaknya menyatu dengan rumah warga. Nah, di mas-mas yang menyewakan toilet ini kami mendapatkan informasi penting tentang pilihan jalur. “Jalur baru…meskipun jalurnya jadi lebih panjang sekitar 15 menit, tapi view nya lebih bagus. Lebih lengang juga, karena rata-rata pada memilih jalur lama. Padahal sebenarnya lebih landai itu”.
Yup, satu informasi berharga sebelum memulai perjalanan.
Perjalanan Menuju Puncak
Pukul 09.00 pagi, kami memulai meninggalkan base camp untuk menuju jalur pendakian Gunung Andong. Sejak dari rumah, saya sudah ngomong di awal kalau saya nggak mau idealis. Sekuatnya. Kalau misal memang beneran capek, saya milih berhenti dan nggak masalah ditinggal di tengah jalur jalan. Asal ada tempat duduk, ada sinyal hape, aman.
Awal-awal jalan, masalah belum kelihatan. Jalur lebar, masih datar. Teman jalan masih banyak. Ditambah view kiri kanan jalan yang menyenangkan; lahan sayuran.
Baru setelah mulai ke jalur naik ke arah gunung, disitulah petualangan dimulai. Track awal bisa dibilang lebar, dengan format tangga berundak dari semen.
Pas lewat, otak langsung ingat dengan tangga di areal makam Imogiri Yogyakarta. Iya, jalur awal naik ke Gunung Andong via Sawit medannya seperti itu. Track lebar, anak tangga cor semen, dan cukup menanjak. “Batere” badan masih lumayan penuh, jadi belum kepikiran untuk menyerah. Statusnya,toh baru saja naik.
Hingga kemudian, saya dan Pak Suami tiba dalam sebuah persimpangan dan harus memilih antara jalur baru atau jalur lama. Dengan pertimbangan penghematan tenaga, kami memilih jalur baru.
Mau milih jalur mana? Lama atau baru? |
Dibanding jalur lama, jalur baru lebih sepi memang. Ada yang lewat, tapi tidak sampai padat merayap.
Rejekinya lagi, cuaca bersahabat. Tidak hujan, dan kalaupun matahari bersinar garang di luar sana, kami terlindung dibawah rimbunnya pepohonan hutan.
Pos 1, Pos 2, bisa dikatakan aman. Ngos-ngosan iya, tapi masih ke handle dengan baik.
Perjalanan pos satu ke pos dua, jalur jalan makin alami. Vegetasi tanaman masih rapat. Hutan pinus yang mengingatkan saya dengan Hutan Pinus di Puncak Becici. Sementara jalur yang kami lewati masih jalan setapak kadang tanah, kadang batu dan beberapa kali mesti berpegangan pada ranting pohon saat jalur terasa licin.
Badan mulai bermandi peluh. Beberapa kali saya meminta Pak Suami menunggu, atau melambatkan jalan. Jam terbang kami menyusuri alam, jelas beda. Saat bertemu dengan track landai, atau mesti berhenti karena bergantian dengan pendaki yang baru turun, saat itulah saya gunakan untuk mengatur napas.
Saya amati, para pendaki punya cara masing-masing untuk menghalau atau mensiasati rasa letih. Yang paling umum adalah dengan memutar musik melalui gawai, atau ada juga yang membawa speaker mini. Ada saatnya ngerasain vibes tempat karokean di tengah hutan๐
Yang saya suka dan membuat terkesan adalah, tradisi saling support antar pendaki saya rasa sangat kuat.
“Ayuk semangat…! “Semangat..semangat..! Kata itulah yang paling sering saya dengar ketika rombongan yang sedang turun gunung, berpapasan dengan rombongan yang sedang hendak naik menuju puncak.
Iya, benar, rasa kekeluargaan terasa kental saat di alam . Saat berpapasan jalur, hampir semua akan bertegur sapa meski tidak saling mengenal sebelumnya.
Pukul 10.06 menit, kami sampai di pos 3, Pos Watu Wayang. Fisik mulai capek, tapi muncul perasaan sedikit lega, karena setelah ini adalah jalur menuju puncak.
Track semakin menantang. Rata-rata merupakan batu alami dan makin sering bertemu tanjakan. "Mana puncaknya? Kapan nyampe?" Di fase ini, sempat terpikir untuk menyerah dan menunggu pak Suami di pos 3 saja. Tapi masak iya kalah stamina dengan pendaki berusia anak-anak? ๐ฅ๐ฅ
Track lepas dari Pos 3 |
Menggunakan prinsip alon-alon waton kelakon alias pelan-pelan asal nyampai, pukul 10.30an Puncak Makam di depan mata. Yess!! Ternyata emak-emak ini bisa juga nyampe puncak๐ช๐ช
Gunung Andong memiliki 3 puncak yang bisa dijangkau pendaki yaitu Puncak Makam, Puncak Andong, dan Puncak Alap-Alap. Jarak ketiganya cukup berdekatan.
Bangunan makam Joko Pekik yang berada di salah satu puncak Gunung Andong |
Puncak Makam, karena di atas memang ada bangunan makam yang dipercaya masyarakat sebagai makam ki Joko Pekik atau Kyai Abdullah Fakih; seorang ulama yang disegani masyarakat setempat pada masanya.
Tak jauh dari Puncak Makam, ada Puncak Andong dengan ketinggian 1726 mdpl. Area di sekitaran puncak Andong inilah yang cukup luas dan sering digunakan untuk nge-camp.
Spot favorit untuk berfoto, tapi harus antri panjang. |
Puncak berikutnya adalah Puncak Alap-alap, dengan ketinggian 1692 mdpl. Antara Puncak Andong dengan Puncak Alap-Alap terhubung dengan jalan setapak yang visualnya sering kita lihat viral di media sosial. Puncak inilah yang pertama dijangkau jika kita menaiki Andong via Pendem.
Pagi itu ada banyak tenda di Puncak Andong. Mungkin kalau datangnya lebih pagi, puncak ini lebih penuh dengan pendaki yang semalam sekalian nge-camp.
"Ayo...gek jajan mie.." Perut saya mulai keroncongan. Saya ajak Pak Suami untuk mengisi amunisi tubuh dengan segelas pop mie pada sebuah warung yang berdiri di puncak gunung.
Setelah puas menikmati panorama alam dari ketinggian, menggambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan dan mengisi perut dengan seporsi mie rebus, tengah hari kami memutuskan untuk turun. Berbeda dengan jalur naik, untuk turun kami memilih melalui jalur lama. Biar bisa ngerasain dua jalur sekaligus, itu pertimbangannya.
Yup, meskipun endingnya sempat ngerasain kaki pegel dan betis kaku-kaku setelah mendaki Gunung Andong, tapi saya rasa pengalaman yang didapatkan jauh lebih berharga. Sungguh tidak menyangka karena ternyata kaki dan body masih bisa diajak kompromi. Senang karena hari itu mata dan paru-paru mendapatkan asupan pemandangan menawan dan udara yang sejuk dan segar. Bersyukur dan bahagia, karena ternyata saya (masih) bisa ๐๐.
Pemandangan dari atas kalau sedang tak tertutup kabut |
Wah, asyik banget long weekend diisi dengan kegiatan yang lain dari kegiatan sehari-hari.
ReplyDelete